Membaca bagaimana figur anak merefleksikan ideologi rezim politik dalam sinema Indonesia

 Kajian mengenai representasi anak dalam sinema di Cina, Jerman, dan India mengaitkan tokoh anak-anak sebagai representasi ideologi dominan dari rezim politik yang berkuasa di negaranya.


Riset saya mengenai anak-anak dan representasi dalam sinema Indonesia pada tahun 2019 menemukan bahwa kecenderungan tersebut juga terdapat dalam sinema Indonesia.


Dari tahun 1951 hingga 2019, industri sinema Indonesia sudah memproduksi setidaknya 93 movie bergenre anak-anak. Pada periode tersebut, setidaknya terjadi tiga kali pergantian rezim politik yang mengusung arah ideologi dan sistem politik yang yang berbeda.


Dari semua movie yang ada, saya melihat pola di mana tokoh anak merefleksikan ideologi politik rezim yang berkuasa dan hal itu nyata di ketiga periode tersebut:


1. Nasionalisme dan injury perang pada periode 1951 - 1965


Pada periode dua dekade awal kemerdekaan ini, movie menampilkan tokoh anak-anak dalam konteks narasi nasionalisme dan revolusi kemerdekaan.


Lalu dokumentasi sejarah ditampilkan sebagai bagian dari cerita fiksi.


Si Pintjang (1951) dirilis dua tahun setelah Perang Kemerdekaan berakhir pada 1949, menampilkan tokoh Giman yang digambarkan sebagai yatim piatu korban perang. Giman hidup di jalanan hingga bertemu seorang Yudono, mantan pejuang kemerdekaan. Yudono membuat penampungan anak jalanan dan menanamkan rasa bela negara melalui baris berbaris dan menghormati simbol negara.


Lalu ada movie Djenderal Kantjil (1958). Dalam movie tersebut, ada anak bernama Arman yang terobsesi menjadi jenderal dan mempunyai pistol mainan sebagai identitasnya. Tiap hari Arman selalu ceremony keliling kampung dengan pasukan perangnya. Kampung mereka tiap malam kemalingan, sampai Arman dan pasukannya menangkap si maling. Keberhasilan Arman dirayakan warga tapi disesali bapaknya. Ia menilai Arman dan pasukannya menimbulkan keributan sehingga harus dibubarkan.


Nasionalisme terasa kental pada kedua movie itu. Hal ini senada dengan ideologi nasionalis dan revolusi presiden Soekarno.

Saat itu, pemerintah perlu menertibkan situasi tidak stabil pada masa awal kemerdekaan. Untuk memulihkan situasi, film-film anak tersebut menekankan peran dan otoritas orang dewasa sebagai yang mewakili negara.  Langkah Raih Jakpot Besar Di Slot Online

Hubungan antara orang dewasa dan anak-anak muncul di movie sebagai simbolisasi hubungan negara dan warganya. Karakter anak-anak digambarkan sebagai pemberontak melawan otoritas. Namun konsekuensinya, mereka dianggap memunculkan ketidakteraturan, sehingga perlu ditata. Film-film ini menggambarkan karakter anak-anak sebagai simbol nasionalisme dalam konteks awal berdirinya negara Indonesia secara official.


Film-film anak tersebut juga memunculkan rasa injury perang. Si Pintjang menggambarkan anak-anak korban perang menjadi gelandangan diabaikan negara. Sementara Djenderal Kantjil menampilkan injury konflik militer bersenjata.


2. Narasi melodramatik dan dominasi keluarga dalam masa Orde Baru


Ahli media dari Australia Krishna Sen mengatakan bahwa salah satu strategi politik Orde Baru (1966-1998) dalam mengembangkan identitas nasional adalah dengan menggunakan media movie.

Popular posts from this blog

Are the Earth's magnetic posts ready to switch locations? Unusual anomaly provides assuring hint

working from home is the best policy